PENSIUNAN SENIMAN
(LIA)
Album ini terasa bergetar di
tanganku. Ada beberapa foto yang meninggalkan kenangan. Benarkah, Aku telah melangkah pergi? Tak terasa jatuh air
mata haru di pipiku.
Cengeng.
Inilah Aku sekarang berdiri sendiri atau….Entahlah. seharusnya kuucapkan,
TERSERAH. Seperti orang-orang yang sedang kalut dan ingin melarikan diri.
Atau…Heh, bukankah terlalu banyak kata atau? Yang menandakan Aku tak tahu harus
bagaimana dan seperti apa.
Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Aku berjuang hingga berhasil
merintis jalan menjadi Oemar Bakrie berikutnya.
Biar kuperjelas, Tahun 1998 Aku adalah mahasiswa Universitas Bengkulu, FKIP,
Jurusan Bahasa, Sastra Indonesia dan daerah. Ha..ha… sedikit bangga dan kadang-kadang ingin
bersembunyi di tanah.
Sebagian orang berkomentar enteng tapi menyakitkan. Kenapa tidak pilih
Ekonomi? Hukum? Pertanian? Tanpa belajar intens, bukankah kita dapat ber-BAHASA
INDONESIA dengan baik dan benar. Saat itu aku mengelak dengan dalih. Ah, lulus
UMPTN bukanlah prestasi yang jelek. Banyak sekali orang yang ingin lulus.
Memang, awalnya pilihanku adalah Bahasa Inggris, yah, siapa tahu bisa ke luar
negeri gratis atau bisa jadi guide
sebagai profesi tambahan, he…he…he… Bisa diterka mereka berhenti berpendapat
dan untuk sementara kasus ditutup.
Aku adalah mahasiswa dengan tekad harus berprestasi dan membahagiakan
orang tua. Maksudnya cepat diwisuda dan mencari uang. Awal yang baik dan penuh
harapan. Saat OSPEK…wah, sepertinya aku lupa apa itu kepanjangan OSPEK. Yah,
semacam penggladian, bisa juga disebut ajang balas dendam senior pada
yuniornya. Di kegiatan itu diperkenalkan pula organisasi-organsasi kecil.
Nah, bagian ini sangat penting bagiku.
Lumayan banyak organisasi yang menarik, tapi Sanggar Teater Bahtra (STB)
yang paling menarik, bagiku. Alasan
ketertarikan itu sangatlah klise, siapa tahu bisa terkenal?
Tidak, tidak seperti itu. Hanya angan-angan saja bagiku. Dengan tinggi badan yang tidak mencapai 150 cm, bobot tubuh
yang tidak proporsional, wajah pas-pasan, ditambah dengan memori yang lambat loading. Lengkaplah sudah.
Tapi, Aku memiliki tingkat imajinasi yang sangat tinggi untuk hal-hal
tertentu. Menurutku, ini menjadi modal besar untuk bergabung di dunia teater.
Kehidupan kampus yang gelap.
Setelah resmi bergabung di STB, Aku banyak menghabiskan malam-malam
panjang yang gelap dan dingin. Terlebih lagi jika ada pementasan.
Saat itu, malam pertama…..eit, jangan
berpikiran lain dulu. Mahasiswa UNIB Angkatan ’98, FKIP, Bahasa, Sastra
Indonesia dan Daerah Jurusan HARUS ditulis dengan lengkap! Yang berjumlah kurang lebih 80 orang
menghadiri malam keakraban di pelataran parkir gedung I. Ini pertama kalinya
aku bergabung dengan orang lain yang bukan keluargaku dan tidak di rumah.
Rasanya sangat bebas, sangat merdeka, sangat dewasa.
Beberapa teman tampak ramah. Beberapa lagi tampak sangat menakutkan. Ada
juga yang ingin menonjolkan diri. Aku sepertinya tidak termasuk dalam kelompok
manapun. Semuanya termasuk para senior bergabung dalam sebuah lingkaran yang
besar. Duduk bersila beralasankan terpal
biru, dengan atap langit malam yang indah. Itu menurut suasana hatiku. Mungkin
saja tidak bagi mereka yang berada dalam lingkaran ini.
Perbincangan hangat, diselingi gelak tawa membuatku menemukan suasana
baru. Perkenalan dari masing-masing orang dalam lingkaran ini berlangsung seru,
malu-malu dan lucu. Terlebih saat beberapa orang PETINGGI STB memperkenalkan diri.
Malam semakin larut, tibalah pada acara yang paling ditunggu, acara inti yaitu Pemetasan Dramatisasi Puisi Sembilu Karya Ibrahim
Sattah. Aku tertawa dalam hati, apa yang dilakukan orang-orang Sok Seniman ini.
Ada tiga undakan yang cocok untuk orang duduk bersila. Kalau tidak salah, ada tujuh orang yang duduk
di sana. Memegang kertas dan sebatang lilin sebagai sumber cahaya.
Suasana menjadi sunyi sepi.
Yang terdengar hanya suara-suara yang berebutan mengeluarkan kata-kata.
Kadang rendah… dalam… meninggi…
Mereka begitu hanyut dalam syair itu, ditingkahi suara-suara yang dingin
di belakangnya. Begitupula aku, terpaku.
…
petala
mawar rinduku
petala
langit bapaku petala bumi ibuku
petala laut
lukaku
a i u e o
namaku
…
Tepuk tangan terdengar riuh, setelah akhir
pertunjukan itu. Motifnya pun berbeda-beda, sekadar ikut-ikutan karena takut
dimusuhi senior, atau benar-benar menikmati walaupun tidak mengerti sama
sekali. Aku termasuk motif yang kedua.
Pertunjukan yang berlangsung setengah jam itu, mengubah pandanganku
terhadap orang-orang sok seniman ini.
Kusesali, saat mentertawakan mereka dalam hati.
Sejak dulu aku begitu pengecut,
rendah diri. Tapi, saat melihat mereka, aku ingin menjadi bagian ketegangan
itu, suara berat dan lantang, tubuh-tubuh yang berkeringat, mata-mata yang
tajam menyesakkan. Aku berharap suatu saat, aku akan di sana, mengantikan
kalian dan membuat orang ternganga.
Tekad boleh baja, harapan boleh saja
setinggi langit. Tapi tujuan tidak bisa dicapai dengan mudah. Perjuangan antara
kuliah dan organisasi masih terbentang panjang dan sulit. Namun hangatnya
lingkaran, canda tawa nakal saat itu membuat sedih dan penat berkurang.
Saat tangan-tangan menjadi satu, kepala tertunduk memanjatkan doa. Dan
dada bergemuruh penuh kecemasan. Semua akan hilang setelah berdiri tegak
dipanggung memainkan peran dan memikul kebanggaan untuk diri sendiri, sanggar,
teman-teman dan penonton.
Tahun kedua…
Sanggar yang kucintai masih terus berdiri dengan gagah. Komitmen yang
seringkali dilanggar tidak merobohkannya. Aku tetap berjalan, memainkan
beberapa peran, membacakan beberapa puisi, menyusun keberanian yang kudapat
dengan hati-hati.
Indah nian, rumahku ini. Tidak
ada tempat yang membuat aku dihargai seperti di sini. Aku bebas menunjukkan
siapa aku, tanpa perlu sembunyi lagi.
Tahun ketiga…
Masih kujumpai beberapa seniorku yang sok
seniman, masih berjuang dengan STB, walau bayang-bayang kelulusan dan
desakan orang tua mengiringi.
Aku masih seperti itu, membacakan beberapa puisi dengan harapan bisa
menyakinkan juri untuk bisa melewati final
saja. Tidak lebih. Memerankan beberapa peran di pentas yang lebih besar, dengan
sedikit keahlian yang muncul sendiri. Menjaga tugu keberanian agar lebih
bersinar dan kokoh.
Tahun ini gempa hampir
menghancurkan Bengkulu.
Aku kehilangan salah satu orang sok
senimanku. Meninggal dengan tragis, dengan luka bakar disekujur tubuhnya.
Aku menangis, saat melihatnya di tenda darurat RS. M. Yunus. Tahun itu gempa hampir menghancurkan Bengkulu.
Kak, ini Yak datang, bisik pacarnya kala itu.
Aku tercekat melihat mata itu begitu hidup, tidak berubah sedikitpun.
Semangatnya tidak lepas, sama saat membacakan puisi Sembilu.
Tahun selanjutnya…
Sanggar Teater Bahtraku masih berdiri, tidak begitu gagah. Namun tetap
menjadi rumah yang indah bagiku. Aku
pun masih seperti itu, membacakan sedikit puisi, peran-peran kecil, dengan
teman-teman kecilku menyusuri gedung
taman budaya.
Tapi, tidak pernah kecewa, terus berusaha menjaga tugu keberanian yang
sedikit pudar cahayanya.
Tahun 2004…
Menyandang gelar sarjana pendidikan, membuat orang tuaku begitu bangga.
Di samirku mengantung air mata
dan togaku
dibungkus keringat. Kulangkahkan kaki dan tetap menoleh ke arah rumah keduaku.
Aku tak akan meninggalkanmu. Janjiku.
Tahun berlalu dan Oemar Bakrie
melekat erat pada diriku. Oemar Bakrie modern yang tidak lagi disebut Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Menyenangkan
memang, berbagi sedikit ilmu yang dipelajari sehari sebelum bertatap muka
dengan wajah-wajah harapan orang tua.
Aku melupakan janjiku?
Ya, Aku lupa pada rumah keduaku. Karena kekecewaan melandaku pada satu
waktu. Aku yang tak pernah tergantikan, pada waktu itu harus dilenyapkan dari
sebuah pementasan. Alasannya, karena Aku terlihat lebih memilih Oemar
Bakrie dari pada tetap menjadi orang yang sok seniman.
Padahal Aku sama sekali tidak berpikir akan meninggalkan senimanku. Aku tetap mencintainya dengan
segenap jantungku. Tidak bisakah aku berjalan dengan mengandeng hidup dan
cintaku?
Aku mencoba melupakan cintaku, aku pergi.
Tahun berlalu begitu saja. Tiba-tiba aku kehilangan lagi salah satu orang
sok senimanku, Bujang Mengkurung kami. Kecelakaan tunggal merenggut nyawanya. Aku,
tersentak kemudian menyadari ini adalah takdir.
Kesal, kecewa, dan sedih bercampur. Teringat percakapan terakhirku
dengannya…Pailah ke Bengkulu, kelak kakak
bikinkan naskah untuk kau pentas.
Kekecewaan terlalu membuatku begitu
lemah dan meruntuhkan tugu keberanianku. Tak pernah sekalipun kutemui mereka,
hingga Bujang Mengkurung pergi.
Meninggalkan kenangan yang akan kubawa ke manapun. Mengajarkan bagaimana hidup
dengan pilihan yang bijaksana. Suatu saat, aku akan mendatangi rumah terakhirmu
di Krui, membacakan Yasin walaupun
tidak sehebat dirimu.
Tahun 2009…
Aku tidak lagi seperti dulu. Banyak
sekali yang berubah. Namun masih ada orang sok
seniman yang tetap mengingatku. Dengan keluarga kecilnya, ia pun berjuang
untuk tetap berdiri di jalannya.
Ya, malaikat maut. Aku memberi gelar kehormatan padanya. Kegarangan,
tatapan matanya yang tajam bahkan agak mengerikan. Saat menanyakan deadline ‘Prefiks’, membuat aku ingin
lari saja. Tapi, aku berusaha untuk menyelesaikan. Pada akhirnya, namaku hanya mejeng dengan malu-malu di halaman
depan. Dan Aku takkan pernah menyerah untuk mencuri ilmu malaikat maut.
Kehidupanku terus berjalan. Sekarang aku adalah pensiunan seniman, yang tetap memiliki
mimpi berdiri lagi di atas panggung, membacakan beribu-ribu puisi dan memainkan
berjuta-juta peran. Sementara itu aku berusaha membangun kembali tugu
keberanianku.
Suatu saat nanti, aku akan datang
mencintaimu dengan sepenuh jiwaku.
Tunggulah Aku.
Talang Karet, 12 Agustus 2009
Untuk Keluarga Besar
Sanggar Teater Bahtra di manapun
berada
AKU
CINTA KALIAN
Comments
Post a Comment
Terima Kasih sudah berkunjung ke blog ini.
Semoga bermanfaat :)