Preposisi (Kata Depan)

Preposisi (Kata Depan) Pengertian Berdasarkan KBBI Kata yang biasanya terdapat di depan nomina (Kata Benda) Contohnya: dari dengan di  ke  Berikut salah satu cara penggolongan yang dapat digunakan: Preposisi yang menandai tempat, misalnya: di, ke, dari. Preposisi yang menandai waktu, misalnya: hingga, hampir. Preposisi yang menandai sebab, misalnya: demi, atas. Preposisi yang menandai arah asal, misalnya: dari. Preposisi yang menandai arah tujuan, misalnya: ke, kepada, akan, terhadap. Preposisi yang menandai pelaku, misalnya: oleh. Preposisi yang menandai alat, misalnya: dengan, berkat. Preposisi yang menandai perbandingan, misalnya: daripada. Preposisi yang menandai hal atau masalah, misalnya: tentang. Preposisi yang menandai akibat, misalnya: hingga, sampai. Preposisi yang menandai maksud dan tujuan, misalnya: untuk, agar, buat, guna, bagi. Penulisan Di, ke, dari Penulisan preposisi ini ditulis terpisah Contohnya  : di pasar, ke sekolah, dari rumah Kecuali untuk kata  kepada (keluar

Cerpen : Pensiunan Seniman



PENSIUNAN SENIMAN
(LIA)
           
            Album ini terasa bergetar di tanganku. Ada beberapa foto yang meninggalkan kenangan. Benarkah, Aku  telah melangkah pergi? Tak terasa jatuh air mata haru di pipiku.
Cengeng.  
Inilah Aku sekarang berdiri sendiri atau….Entahlah. seharusnya kuucapkan, TERSERAH. Seperti orang-orang yang sedang kalut dan ingin melarikan diri. Atau…Heh, bukankah terlalu banyak kata atau? Yang menandakan Aku tak tahu harus bagaimana dan seperti apa.
Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Aku berjuang hingga berhasil merintis jalan menjadi Oemar Bakrie berikutnya. Biar kuperjelas, Tahun 1998 Aku adalah mahasiswa Universitas Bengkulu, FKIP, Jurusan Bahasa, Sastra Indonesia dan daerah.  Ha..ha… sedikit bangga dan kadang-kadang ingin bersembunyi di tanah.
Sebagian orang berkomentar enteng tapi menyakitkan. Kenapa tidak pilih Ekonomi? Hukum? Pertanian? Tanpa belajar intens, bukankah kita dapat ber-BAHASA INDONESIA dengan baik dan benar. Saat itu aku mengelak dengan dalih. Ah, lulus UMPTN bukanlah prestasi yang jelek. Banyak sekali orang yang ingin lulus. Memang, awalnya pilihanku adalah Bahasa Inggris, yah, siapa tahu bisa ke luar negeri gratis atau bisa jadi guide sebagai profesi tambahan, he…he…he… Bisa diterka mereka berhenti berpendapat dan untuk sementara kasus ditutup.
Aku adalah mahasiswa dengan tekad harus berprestasi dan membahagiakan orang tua. Maksudnya cepat diwisuda dan mencari uang. Awal yang baik dan penuh harapan. Saat OSPEK…wah, sepertinya aku lupa apa itu kepanjangan OSPEK. Yah, semacam penggladian, bisa juga disebut ajang balas dendam senior pada yuniornya. Di kegiatan itu diperkenalkan pula organisasi-organsasi kecil.
Nah, bagian ini sangat penting bagiku.
Lumayan banyak organisasi yang menarik, tapi Sanggar Teater Bahtra (STB) yang paling menarik, bagiku. Alasan ketertarikan itu sangatlah klise, siapa tahu bisa terkenal?
Tidak, tidak seperti itu. Hanya angan-angan saja bagiku. Dengan tinggi badan yang tidak mencapai 150 cm, bobot tubuh yang tidak proporsional, wajah pas-pasan, ditambah dengan memori yang lambat loading. Lengkaplah sudah.
Tapi, Aku memiliki tingkat imajinasi yang sangat tinggi untuk hal-hal tertentu. Menurutku, ini menjadi modal besar untuk bergabung di dunia teater.
Kehidupan kampus yang gelap.
Setelah resmi bergabung di STB, Aku banyak menghabiskan malam-malam panjang yang gelap dan dingin. Terlebih lagi jika ada pementasan.
Saat itu, malam pertama…..eit, jangan berpikiran lain dulu. Mahasiswa UNIB Angkatan ’98, FKIP, Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah  Jurusan HARUS ditulis dengan lengkap! Yang berjumlah kurang lebih 80 orang menghadiri malam keakraban di pelataran parkir gedung I. Ini pertama kalinya aku bergabung dengan orang lain yang bukan keluargaku dan tidak di rumah. Rasanya sangat bebas, sangat merdeka, sangat dewasa.
Beberapa teman tampak ramah. Beberapa lagi tampak sangat menakutkan. Ada juga yang ingin menonjolkan diri. Aku sepertinya tidak termasuk dalam kelompok manapun. Semuanya termasuk para senior bergabung dalam sebuah lingkaran yang besar. Duduk bersila beralasankan terpal biru, dengan atap langit malam yang indah. Itu menurut suasana hatiku. Mungkin saja tidak bagi mereka yang berada dalam lingkaran ini.
Perbincangan hangat, diselingi gelak tawa membuatku menemukan suasana baru. Perkenalan dari masing-masing orang dalam lingkaran ini berlangsung seru, malu-malu dan lucu. Terlebih saat beberapa orang PETINGGI STB memperkenalkan diri.
Malam semakin larut, tibalah pada acara yang paling ditunggu, acara inti yaitu Pemetasan Dramatisasi Puisi Sembilu Karya Ibrahim Sattah. Aku tertawa dalam hati, apa yang dilakukan orang-orang Sok Seniman ini.
Ada tiga undakan yang cocok untuk orang duduk bersila. Kalau tidak salah, ada tujuh orang yang duduk di sana. Memegang kertas dan sebatang lilin sebagai sumber cahaya.
Suasana menjadi sunyi sepi.
Yang terdengar hanya suara-suara yang berebutan mengeluarkan kata-kata. Kadang rendah… dalam… meninggi…
Mereka begitu hanyut dalam syair itu, ditingkahi suara-suara yang dingin di belakangnya. Begitupula aku, terpaku.
petala mawar rinduku
petala langit bapaku petala bumi ibuku
petala laut lukaku
a i u e o
namaku
             Tepuk tangan terdengar riuh, setelah akhir pertunjukan itu. Motifnya pun berbeda-beda, sekadar ikut-ikutan karena takut dimusuhi senior, atau benar-benar menikmati walaupun tidak mengerti sama sekali. Aku termasuk motif yang kedua.
Pertunjukan yang berlangsung setengah jam itu, mengubah pandanganku terhadap orang-orang sok seniman ini. Kusesali, saat mentertawakan mereka dalam hati.

            Sejak dulu aku begitu pengecut, rendah diri. Tapi, saat melihat mereka, aku ingin menjadi bagian ketegangan itu, suara berat dan lantang, tubuh-tubuh yang berkeringat, mata-mata yang tajam menyesakkan. Aku berharap suatu saat, aku akan di sana, mengantikan kalian dan membuat orang ternganga.
            Tekad boleh baja, harapan boleh saja setinggi langit. Tapi tujuan tidak bisa dicapai dengan mudah. Perjuangan antara kuliah dan organisasi masih terbentang panjang dan sulit. Namun hangatnya lingkaran, canda tawa nakal saat itu membuat sedih dan penat berkurang.
Saat tangan-tangan menjadi satu, kepala tertunduk memanjatkan doa. Dan dada bergemuruh penuh kecemasan. Semua akan hilang setelah berdiri tegak dipanggung memainkan peran dan memikul kebanggaan untuk diri sendiri, sanggar, teman-teman dan penonton.
Tahun kedua…
Sanggar yang kucintai masih terus berdiri dengan gagah. Komitmen yang seringkali dilanggar tidak merobohkannya. Aku tetap berjalan, memainkan beberapa peran, membacakan beberapa puisi, menyusun keberanian yang kudapat dengan hati-hati.
Indah nian, rumahku ini. Tidak ada tempat yang membuat aku dihargai seperti di sini. Aku bebas menunjukkan siapa aku, tanpa perlu sembunyi lagi.
Tahun ketiga…
Masih kujumpai beberapa seniorku yang sok seniman, masih berjuang dengan STB, walau bayang-bayang kelulusan dan desakan orang tua mengiringi.
Aku masih seperti itu, membacakan beberapa puisi dengan harapan bisa menyakinkan juri untuk bisa melewati final saja. Tidak lebih. Memerankan beberapa peran di pentas yang lebih besar, dengan sedikit keahlian yang muncul sendiri. Menjaga tugu keberanian agar lebih bersinar dan kokoh.
Tahun ini gempa hampir menghancurkan Bengkulu.
Aku kehilangan salah satu orang sok senimanku. Meninggal dengan tragis, dengan luka bakar disekujur tubuhnya. Aku menangis, saat melihatnya di tenda darurat RS. M. Yunus. Tahun itu gempa hampir menghancurkan Bengkulu.
Kak, ini Yak datang, bisik pacarnya kala itu.
Aku tercekat melihat mata itu begitu hidup, tidak berubah sedikitpun. Semangatnya tidak lepas, sama saat membacakan puisi Sembilu.
Tahun selanjutnya…
Sanggar Teater Bahtraku masih berdiri, tidak begitu gagah. Namun tetap menjadi rumah yang indah bagiku. Aku pun masih seperti itu, membacakan sedikit puisi, peran-peran kecil, dengan teman-teman kecilku menyusuri gedung taman budaya.
Tapi, tidak pernah kecewa, terus berusaha menjaga tugu keberanian yang sedikit pudar cahayanya.
Tahun 2004…
Menyandang gelar sarjana pendidikan, membuat orang tuaku begitu bangga. Di samirku mengantung air mata dan  togaku dibungkus keringat. Kulangkahkan kaki dan tetap menoleh ke arah rumah keduaku. Aku tak akan meninggalkanmu. Janjiku.
Tahun berlalu dan Oemar Bakrie melekat erat pada diriku. Oemar Bakrie  modern yang tidak lagi disebut Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Menyenangkan memang, berbagi sedikit ilmu yang dipelajari sehari sebelum bertatap muka dengan wajah-wajah harapan orang tua.
Aku melupakan janjiku?
Ya, Aku lupa pada rumah keduaku. Karena kekecewaan melandaku pada satu waktu. Aku yang tak pernah tergantikan, pada waktu itu harus dilenyapkan dari sebuah pementasan. Alasannya, karena Aku terlihat lebih memilih  Oemar Bakrie dari pada tetap menjadi orang yang sok seniman.
Padahal Aku sama sekali tidak berpikir akan meninggalkan senimanku. Aku tetap mencintainya dengan segenap jantungku. Tidak bisakah aku berjalan dengan mengandeng hidup dan cintaku?
Aku mencoba melupakan cintaku, aku pergi.
Tahun berlalu begitu saja. Tiba-tiba aku kehilangan lagi salah satu orang sok senimanku, Bujang Mengkurung kami. Kecelakaan tunggal merenggut nyawanya. Aku, tersentak kemudian menyadari ini adalah takdir.
Kesal, kecewa, dan sedih bercampur. Teringat percakapan terakhirku dengannya…Pailah ke Bengkulu, kelak kakak bikinkan naskah untuk kau pentas.
            Kekecewaan terlalu membuatku begitu lemah dan meruntuhkan tugu keberanianku. Tak pernah sekalipun kutemui mereka, hingga Bujang Mengkurung pergi. Meninggalkan kenangan yang akan kubawa ke manapun. Mengajarkan bagaimana hidup dengan pilihan yang bijaksana. Suatu saat, aku akan mendatangi rumah terakhirmu di Krui, membacakan Yasin walaupun tidak sehebat dirimu.
            Tahun 2009…
            Aku tidak lagi seperti dulu. Banyak sekali yang berubah. Namun masih ada orang sok seniman yang tetap mengingatku. Dengan keluarga kecilnya, ia pun berjuang untuk tetap berdiri di jalannya.
            Ya, malaikat maut. Aku memberi gelar kehormatan padanya. Kegarangan, tatapan matanya yang tajam bahkan agak mengerikan. Saat menanyakan deadline ‘Prefiks’, membuat aku ingin lari saja. Tapi, aku berusaha untuk menyelesaikan. Pada akhirnya, namaku hanya mejeng dengan malu-malu di halaman depan. Dan Aku takkan pernah menyerah untuk mencuri ilmu malaikat maut.
            Kehidupanku terus berjalan. Sekarang aku adalah pensiunan seniman, yang tetap memiliki mimpi berdiri lagi di atas panggung, membacakan beribu-ribu puisi dan memainkan berjuta-juta peran. Sementara itu aku berusaha membangun kembali tugu keberanianku.
            Suatu saat nanti, aku akan datang mencintaimu dengan sepenuh jiwaku.
Tunggulah Aku. 

                                                            Talang Karet, 12 Agustus 2009
                                                           
Untuk Keluarga Besar
Sanggar Teater Bahtra di manapun berada
                                                                        AKU CINTA KALIAN 

Comments

Popular posts from this blog

Novel Siti Nurbaya